1st Time Climbing : Batur, I’m Coming!
“I felt my lungs inflate with the onrush of scenery—air, mountains, trees, people. I thought, "This is what it is to be happy.” Sylvia Plath, The Bell Jar
Click here for more photo |
Hola, ketemu lagi. Postingan kali
ini terbilang late post sih hehehe, tapi entah kenapa tiba-tiba inget sama
gunung satu ini terus pengen cerita.
Tanggal 27-28 Juni kemarin kebetulan
banget ada liburan weekand plus-plus, so akhirnya aku memutuskan untuk mengejar
salah-satu mimpiku, naik gunung. Waktu itu sebenarnya banyak yang kepengen ikut
sih, tapi enggak jadi semua akhirnya yang fix pergi saat itu hanya aku, Ester
dan Grace. Tenang saja, kami gak sembarangan naik gunung kok. Kebetulan si
Ester (kadang-kadang dipanggil ete) ini anak-anak gunung (baca:mapala) jadi
kita tinggal ngekor aja dibelakang dia hehehe.
Biasanya sih jalur yang dipake
pendaki ke batur itu naik malam supaya nyampe diatas pas subuh, lihat matahari
terbit gitu. Tapi kali ini kami diajakin si Ete buat naik sore, terus kamping
di atas. Jadi sebelum naik kami sempat menikmati keindahan danau batur.
Jujur saja, pemandangan danau
batur oke-oke saja kalau tidak ada sampah-sampah bergelimpangan yang bikin
sakit mata. Serius, sampah-sampah itu ganggu banget. Benar-benar disayangkan,
padahal danaunya cantik tapi orang-orang yang berkunjung kesana justru tidak
mau menjaga kecantikan danau. Well, mungkin pada gak punya rasa bersalah ya? Yah
lupain dulu masalah itu. Back to topic guys...
Habis dari danau batur, kita
lanjut nyari kaki gunung buat kita daki. Nah ini dia nih yang susah. Ternyata si
penunjuk jalan kami (Ete) rada-rada lupa jalan. Jadi kami sempat
keliling-keliling gak jelas dibawah kaki gunung gak nemu jalan.
Finally, setelah kami nemuin
jalan kita langsung naik dengan semangat 45! Tapi ternyata gak semudah yang
dibayangkan. Mana hari ternyata mulai gelap gara-gara kelamaan tersesat lagi. Setelah
benar-benar gelap kami mulai ngeluarin senter. Kebetulan waktu itu dadakan naik
gunungnya, jadinya aku hanya sempat bawa senter om yang besar banget.
Bukannya untung ya bawa senter
besar? Kan terang. Yah harusnya sih gitu, ternyata diantara kami bertiga
senterku yang paling redup. Arggg... ngeselin banget! Udah nambah beban
ternyata redup. Eh, usut demi usut ternyata aku masang baterainya kebalik, malu
banget. Untung (atau tidak untung) kita cuma bertiga, yah setidaknya yang
ngetawain jumlahnya dikit lah ya.
Sekitar sejam lebih, kami sampai
ke tempat bisa buka tenda. Sayangnya malam itu embunnya tebal banget, jadinya
gak bisa ngelihat milky way... Jadinya malam itu malah jadi ajang curhat para
gadis, weleh-weleh gadis-gadis...
Subuhnya, aku dan Ester
ngelanjutin perjalanan ke puncak Batur. Sayangnya Grace gak ikut udah angkat
bendera putih dia. Ternyata makin ke atas makin susah nafasnya, sampai bingung
aku dengan para bule dan Ester yang masih tenang-tenang aja ngedakinya. Mereka gak
kedinginan? Gak sesak nafas? Mungkin itu ya yang namanya beda jam terbang -_-‘
Tapi gak salah lah, nyampe diatas
pemandangannya indah banget. Meskipun sedikit ketutupan kabut tapi tetap saja
sunrise-nya berkesan...
Setelah itu kita lanjut muterin
puncak batur. Sekedar info, gunung batur itu puncaknya ngebentuk kawah jadinya
kita bisa muterin gunungnya. Masalah mulai kelihatan pas matahari mulai tinggi.
Sehabis muterin puncak batur dan
nyampe ke kawahnya, ternyata monyet dan sampahnya banyak banget. Digaris bawahi
monyet dan sampah! Sampah pastilah semuanya juga tau kalau itu mengganggu.
Monyet? Jangan salah, meskipun monyet-monyet disini masih terbilang ramah
jangan sekali-sekali menampakkan benda-benda berkilau kalau gak mau dicuri
monyet. Jangankan benda-benda keren macam kacamata atau jam tangan, tissue
cu****s b**y juga diambil (ah, tissuku yang malang...). sebenarnya tissuenya
gak masalah diambil, masalahnya kalau sampai ketelan mereka gimana? Mereka juga
yang kasihan. Jadi jangan bawa barang-barang aneh ya nanti kalau naik ke Batur J
Ternyata meskipun gak ikutan naik
Grace juga punya cerita. Pas kami naik, dia nyoba ngelanjutin tidurnya. Eh ternyata
para wisatawan penasaran sama tenda yang berdiri ditengah-tengah rute naik ke
puncak. Jadinya tenda kita dijadiin semacam objek wisata. Parahnya lagi...
Grace : km tau gak yang lebih parah lagi?
Kita : emang kenapa gek?
Grace : pas lagi tidur, tiba-tiba ada bapak-bapak
manggil-manggil dari luar. Terus akhirnya aku keluar. Ternyata bapaknya mau
ngasih tau jangan naro sepatu diluar, nanti diambil monyet.
Kita : terus masalahnya apa gek?
Grace : pas keluar bule-bule itu ngeliatin terus
nunjuk-nunjuk sambil ketawa “lady, there is lady in the tent”. Akhirnya gue
langsung ngambil sepatu terus ta kunci tendanya. Untung gak kubuat kotak dana “yang
nyentuh tenda ini bayar 1 $”
Nah begitulah kisahku pas
pertama kali naik gunung. Dari tersesat sampai tendanya dijadiin objek wisata. Bagi
yang ada di Bali terus pengen ngerasain rasanya climbing, gunung Batur
recommended deh buat para pemula kayak aku. Tapi kalau naik, jangan lupa bawa
turun lagi sampahnya ya, sayangi alam guys J.
See you next post ^_<
NB : foto-foto pas naik nih, cek this out :D
Cieeeee jadi anak-anak mapala mii tawwa...
ReplyDeleteBerapa km jalannya, bi?
Pernah juga aku pergi mendaki Gunung Bawakaraeng untuk praktikum.... Asli keren banget meskipun cuma bsia sampai di post tiga, belum sampai puncak
Ntar deh, kapan-kapan aku ke Bali. Ajakin naik gunung yaaaaa kekekekkeke...
hohoho boleh2. makanya k bali rhyme, jangankan naik gunung keliling bali jg ta temanin kekeke
Deleteps: aku bkn anak mapala, cuma ngikut2 anak mapala doang :p